Hari ini dan besok adalah kelanjutan tentang cita-cita sebuah perjalanan panjang membangun sebuah desa, yang dari sana akan ada banyak pelajaran yang dapat diambil, khususnya pelajaran tentang bagaimana kita sebagai manusia harus bisa saling berbagi. Tulisan berikut, beserta judulnya merupakan tulisan dari seorang kakak yang memberikan banyak tauladan kepada saya, -bahkan saya yakin tidak hanya saya- tulisan yang dibuat tahun lalu sebagai sebuah kesan beserta wejangan. Sengaja saya 'angkat' kembali dalam rangka mengulas semua perjalanan tahun lalu dalam upaya menambah bekal perjalanan di tahun ini. Selamat membaca, sebuah tulisan dari Achmad Fachruddin.
Sukadamai, sebuah desa nan elok, di ujung atas kecamatan Dramaga. Hari minggu kemarin, ada sebuah keramaian di kampung ‘kahuripan’, ujung atas desa ini. Keramaian yang penuh arti. Keramaian yang membawa mereka pada indahnya berbagi, sejuknya berempati. Mereka yang ada di sana, telah meniti jalan yang penuh dengan cobaan. Mereka membuka jalan yang tadinya tertutup dari pandangan. Mereka telah berhasil membukanya.
Ini bukan pujian tak berdasar, atau sanjungan yang dilayangkan hanya untuk mendapatkan penghormatan balik. Cerita tentang mereka, terus menghiasi perjalanan dalam 7 bulan terakhir. Konsistensi dan persistensi dalam jalan pengabdian itu, menjadi satu rahasia yang mereka miliki. Ketahanan untuk terus bahagia dan optimis menjadi satu keahlian yang mulai mengakar dalam kepribadian mereka. Keramaian yang terjadi dari pagi hingga siang itu, mungkin menjadi titik zenit kebahagiaan mereka karena mereka berhasil melewati jalan itu.
Setelah keramaian itu berakhir. Terlihat raut wajah yang takut untuk merindu, terpancar dari wajah anak-anak kecil itu. Ya, anak-anak itu terlihat takut. Anak-anak itu tidak berani membayangkan, bahwa sabtu depan, tidak ada sosok mereka lagi. Figur-figur yang telah mengisi hati mereka di hari-hari kemarin, membuat mereka berani untuk bermimpi, semangat untuk belajar dan berjuang. Anak-anak itu mungkin takut, bahwa mereka akan benar-benar ditinggalkan dalam nyamannya ‘rumah baca jingga’ yang dua minggu terakhir di tepi bangunan rumah Bu Komariah. Anak-anak itu takut, karena anak-anak itu memahami makna keramaian yang baru saja berlalu. Penutupan dan Perpisahan.
Anak-anak Desa Sukadamai |
Maka saat angkot sampai untuk menjemput mereka dan motor-motor siap digas untuk pulang. kebersamaan dengan mereka pun usai dan langkah pertama mulai dijalankan dengan berjalan mengumpat untuk menunaikan kewajiban dari Sang Khalik di sebuah surau, sambil menunggu tidak ada yang tersisa dari mereka di tempat ini. Tepat pukul 13.30 perjalanan dimulai. 50 meter pertama ada sebuah gang kecil, Gang fenomenal yang pernah mengantarkan mereka masuk dalam sekolah dasar dan membangunkan mereka untuk peduli terhadap pendidikan. Sekolah dasar yang mungkin berbanding 180 dengan sekolah yang ada di seberang kampus hijau IPB.
Langkah kaki terus berjalan, Jalan yang cukup panjang. Mereka pernah mengukurnya dengan spedometer, 10-11 kilometer dari kampus IPB Dramaga. Sisi kanan dan kiri jalan menyajikan kekhasannya masing-masing. Sisi kiri jalan mengingatkan pada memori-memori praktikum agronomi dan hortikultura. Ladang pertanian yang bersilih ganti komoditas pangan, mulai dari jagung, ubi kayu, sampai ubi jalar. Tetapi ada sesuatu yang mesti diwaspadai, tanah-tanah pertanian itu sejengkal demi sejengkal mulai kalah bernegosiasi dengan pondasi bangunan modern. Akar permasalahannya cukup jelas, tanah-tanah pinggir jalan itu sebagian besar bukan lagi milik pribumi. Tapi syukurlah masih ada sisi kanan jalan, sisi jalan yang begitu menenangkan dan menyejukkan pandangan. Lembah-lembah mungil, rumah-rumah desa yang terbentuk dengan lanskap alam, dan pohon-pohon beragam yang tumbuh tegak berdzikir pada Rabb-NYA.
Sampai langkah ini tiba di depan kantor desa Sukadamai, perut yang baru diganjal kue pukis Upan dan 1 botol susu dari kemaraian tadi, sudah tak kuasa menahan lapar. Beruntung ada warung makan mirip warteg barokah di depan balai desa. Satu piring penuh nasi, tempe ‘oreg’ khas sunda, dibalut tumis toge dan kacang panjang, semakin renyah dengan tambahan dua kerupuk putih bulat. Jam tangan menunjukan pukul 14.00. Penghujung siang itu semakin manis dengan segelas teh manis hangat. Sampai akhir perjalanan, satu kesan yang didapati tentang balai desa Sukadamai, kondisinya paling berbeda ketiga balai desa setelahnya, Sukawening, Ciherang, dan Margajaya.
Berbagi |
Langkah kaki semakin bersemangat melanjutkan perjalanan solo ini. Semakin ke bawah, semakin padat pemukiman di kanan-kiri jalan. Kalau dicatat, ada sekitar empat jalan bercabang atau pertigaan yang akan ditemui sebelum sampai pasar Dramaga. Percabangan pertama setelah melewati balai desa Sukadamai. Pertigaan kedua dan ketiga sangat berdekatan, kedua pertigaan ini akan dilewati setelah melewati bangunan pengelolaan air seperti PDAM di sebelah kanan jalan, dan pertigaan terakhir terdapat di desa Ciherang. Wilayah ini cukup sarat dengan angkot.
Perjalanan semakin sejuk dengan hujan deras yang berganti gerimis ketika sampai di Sukawening. Adzan berkumandang, ibadah saat itu benar-benar merehatkan langkah yang sudah mulai lelah.
Sejujurnya, memang ada motif mendadak mengapa langkah panjang ini dilakukan. Tetapi, akhirnya muncul satu motivasi yang lebih mulia. Merekam perjalanan ini. Meremind perjalanan yang mereka lakukan dengan penuh keikhlasan sabtu dan minggu dalam 7 bulan terakhir. Meski jumlah mereka begitu dinamis, pengabdian itu benar-benar telah mereka lakukan sepenuh hati. Saat pengajar-pengajar itu berjalan, mereka cukup hafal beragamnya polisi tidur dari Pasar Dramaga hingga pertigaan pertama. Mereka cukup hafal dengan bau kandang ayam yang selalu jadi patokan dalam jalur perjalanan ini. Dan mereka semakin tersemangati oleh patung macan yang tak bosan menasihati “silih asah, silih asih, silih asuh”.
Saat pendampingan masyarakat ditunaikan, rumah baca disiapkan, layanan kesehatan digelar, serta logistik 2 ton beras dan 220 dus susu itu dibawa dalam ancaman hujan, jalan-jalan yang berkelok itu cukup menyulitkan mereka. Mungkin ini menjadi kenangan tersendiri bagi mereka. Mereka percaya, semua upaya ini layaknya batu pertama pondasi yang telah mereka kuburkan. Bagaimana nasib bangunannya setelah ini? Hanya bisa dijawab oleh generasi setelah mereka.
bekerja, bersama |
Terima kasih; banyak, besar, dan luas; untuk mereka. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam Bina Desa FEM, seluruh mahasiswa dan Lembaga Kemahasiswaan serta Dekanat Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebuah pengaharapan, semoga Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan terbaik untuk mereka.
Ucapan dan doa itu juga semoga tersematkan untuk semua sahabat yang telah berjuang dan berkontribusi setulus hati. Kepada sahabat-sahabat mahasiswa baik yang berkontribusi secara individu, organisasi, dan gerakan kepemudaan; badan eksekutif mahasiswa, dewan perwakilan mahasiswa, himpunan profesi, unit kegiatan mahasiswa. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk terus istiqomah memberikan arti atas diri kita degan bermanfaat untuk orang-orang sekitar kita. Apapun lahan perjuangan yang kita pilih, lanjutkanlah!