Selasa, 18 Desember 2012

Poros kata

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal
Aku bermimpi ingin mengubah dunia..

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Ku dapati bahwa dunia tidak kunjung berubah
Maka cita-citaku itupun agak ku persempit
Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.

Namun tampaknya ...
Hasrat itupun tidak ada hasilnya.

Ketika usiaku makin senja,
Dengan semangatku yang masih tersisa
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku
Orang-orang yang paling dekat denganku.
Tapi celakanya, merekapun tidak mau berubah !
Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang

Tiba-tiba kusadari ...
Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,

Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan 
Mungkin aku bisa mengubah keluargaku
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
Bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku
Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa merubah Dunia.

Terukir di sebuah batu nisan, Westminster Abbey, Inggris 1100 M


Hakikat hidup sekali lagi, adalah soal perubahan.

-Saat Menghadiri Seminar Belajar Merawat Indonesia di IPB-

Sabtu, 17 November 2012

KPK, Pemuda, dan Integrasi Keduanya

Poros kata
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah penyakit yang telah menjangkit bangsa ini sejak kemerdekaan. Dalam buku ‘Kembali! ke Jati Diri Bangsa’ karya Djon Pakan Lalanlangi, Mantan Jaksa Agung Muda Anton Sujata, S.H. di awal-awal era reformasi melukiskan, “Jikalau pada zaman pemerintahan Soekarno KKN berlangsung di bawah meja, karena masih malu-malu. Pada zaman pemerintahan Soeharto KKN berlangsung di atas meja, sebab Soeharto sangat berkuasa. Kemudian di era pemerintahan B.J. Habibie, KKN berlangsung di bawah dan di atas meja. Lalu bagaimana KKN di zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid dan setelahnya? Masya Allah, bukan hanya di bawah dan di atas meja, bahkan mejanya pun turut diangkut!”

KPK adalah ujung tombak pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Saat ini kita tidak bisa menafikkan bahwa Indonesia sudah sedemikian parahnya terjangkit praktik korupsi.  Seandainya saya menjadi Ketua KPK maka saya akan menggunakan pemuda-pemuda terbaik dari seluruh pelosok negeri dalam membantu memberantas korupsi. Pun demikian, kita mesti ingat bahwa kemerdekaan Indonesia juga berawal dari semangat Sumpah Pemuda!

Kita gunakan pemuda-pemuda terbaik yang handal di bidang IT: memanfaaatkan teknologi, membuat gerakan nasional anti korupsi sebagai upaya mewujudkan social awareness yang terus menerus aktif menggemakan gerakan anti korupsi, kita latih pemuda-pemuda terbaik di bidang pertahanan untuk mengantisipasi ancaman dan gangguan dalam kasus korupsi, kita kumpulkan para pemuda yang ahli administrasi agar berkas-berkas kasus korupsi tersusun rapi: tidak mudah bocor ke publik, kita libatkan pemuda-pemuda terbaik dari berbagai perguruan tinggi, dari berbagai sekolah tinggi pemerintahan, bergabung dalam KPK.

         Keterlibatan pemuda dalam KPK juga berguna dalam mencegah penyebarluasan tindakan korupsi, sebab jika saat ini saja pemuda Indonesia gemar melakukan tindakan-tindakan yang berbau korupsi, bukan mustahil bangsa ini akan menjadi negara terkorup sedunia! Pemuda, sebagai generasi penerus, menjadi motor penggerak dalam upaya pemberantasan korupsi beberapa tahun mendatang. Kita harus menyadari hal itu.

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/0/Blog.html
http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/874/Hadiyansyah%20Anwar.html

Minggu, 11 November 2012

Waktu

Poros kata

Untung ada Tuhan yang senantiasa memberikan pengertian jika keadaan tak sesuai dengan pengharapan. Berjalanlah wahai takdir, dari gelap menuju terang. Biar duri menjadi teman perjalanan. Biar tegar semakin dekat, semakin mengisi. Dan waktu kian melaju

Kamis, 01 November 2012

Catatan untuk Bina Desa FEM

Poros kata
Pertemuan kami bermula pada 18 Desember 2011, Rapat Perdana Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FEM IPB. Beberapa wajah pernah tertangkap dan terekam oleh mata ini, namun lebih banyak wajah baru yang -saya pahami- suatu saat nanti akan melekat erat dalam memori otak kanan. Benar memang pertemuan pertama kami begitu terasa canggung, malu-malu dan amat santun, namun dari situ sebenarnya ide-ide dan gagasan mulai bermunculan, dari kepala-kepala yang tak pernah mengeluh jika harus berdiskusi hingga larut malam.
            Pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat kemudian menjadi rutinitas kami, sedikit bosan namun ada tanggungjawab yang menjadi konsekuensi kami sejak awal memutuskan untuk berada di Departemen Pengabdian Masyarakat. Kami bertukar pikiran tentang program kerja selama satu periode kepengurusan BEM FEM. Atas berbagai pertimbangan, akhirnya kami sepakat memfokuskan sebuah program pengabdian masyarakat yang terintegrasi dengan setiap Lembaga Kemahasiswaan dan Lembaga Struktural yang berada di FEM IPB.
Forum Bina Desa FEM pun digelar bersama perwakilan setiap Himpunan Profesi. Kami menyamakan persepsi dan urgensi pelaksanaan bina desa yang terintegrasi. Ada visi yang kami usung bersama, yaitu ‘Membangun sebuah desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan wawasan masyarakat melalui fungsi  pemberdayaan dan pelayanan  sesuai dengan core competence mahasiswa FEM IPB’.
Fokus kami di tahun pertama pelaksanaan Bina Desa FEM yaitu melaksanakan fungsi pemberdayaan dan pelayanan di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Ada beberapa program yang kami canangkan; FEM Mengajar, Pelatihan Guru, dan Pendirian Rumah Baca untuk menopang bidang pendidikan, pendampingan UKM untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat, dan Cek Kesehatan Gratis untuk menarik perhatian masyarakat tentang pentingnya arti kesehatan dan kelestarian lingkungan.
Penentuan Desa Sukadamai sebagai tempat kegiatan pengabdian kami bukan tanpa dasar. Jauh sebelum pelaksanaan bina desa, kami mendata desa-desa yang ada di lingkungan lingkar kampus IPB. Kami melakukan survey ke beberapa desa. Waktu itu ada tiga desa yang menjadi rekomendasi dari LPPM IPB. Tiga desa tersebut yaitu Desa Sukadamai, Desa Sukawening, dan Desa Petir. Akhirnya kami memilih Desa Sukadamai yang kami rasa sesuai dengan program yang akan kami jalankan. Periode pertama pun dimulai dengan berbagai perencanaan, yang nantinya baru akan benar-benar berakhir dalam lima tahun mendatang.
Ya memang benar, bekal untuk perjalanan ini telah kami siapkan dengan sebaik mungkin. Kami sudah siap mengarungi luasnya lautan, menghadapi ombak, menghadapi angin, bahkan menghadapi badai. Kami siap memulai perjalanan ini.
***
            Setiap Senin datang, di tempat itu ada kaki-kaki kecil yang berbaris dengan rapi, mengikuti upacara. Ketika Sabtu datang, tak jarang tempat itu diinjaki kaki-kaki yang bergerak lincah mengikuti bola yang berputar atau sekedar bermain lompat karet. Seharian di hari Minggu tempat tersebut terasa sepi, sepertinya ia ikut beristirahat akibat lelahnya menyaksikan aktivitas para siswa selama enam hari penuh. Tempat itulah yang menjadi tempat favorit saya, -halaman depan SDN Cilubang 4- yang ketika kami datang dengan lembutnya tangan-tangan kecil itu menggapai tangan kami; mencium dan bertanya dengan mata yang berbinar, ‘Belajar apa Kak hari ini?’ Atau ‘Kakak ngajar di kelas mana hari ini?’. Uniknya sambutan hangat itu selalu setia menemani perjalanan kami di SDN Cilubang 4.
Layar sudah dikembangkan, para pengajar memasuki kelas, mengajak siswa/i mengenal impian mereka masing-masing. Ada berbagai mimpi disana, ada yang ingin menjadi seorang ustadz, guru, mahasiswa, pilot, supir angkot, pemulung, presiden, dan masih banyak impian-impian mereka yang lain. Para pengajar kemudian memberikan nasihat yang mulia, mereka diajak untuk berani bermimpi besar. Seperti yang dikatakan oleh Arai -tokoh sentral  dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata- ‘yang perlu dilakukan oleh orang-orang seperti kita yaitu bermimpi besar dan kemudian mempercayainya’. Bukan tidak mungkin nantinya dari tempat itu akan muncul pemikir-pemikir hebat seperti Abdurrahman Wahid, Habibie, Dahlan Iskan atau bahkan sekelas Einstein. Semoga Tuhan senantiasa mendekap mereka dengan tangan-Nya, membimbing mereka untuk terus belajar ditengah segala keterbatasan.          
***
            Hari Minggu tanggal 29 April 2012 adalah sejarah bagi kami, kegiatan turun desa pertama dimulai. Kegiatan pertama itu kami isi dengan melakukan pemetaan potensi unit usaha yang berada di wilayah Desa Sukadamai. Kami mengunjungi beberapa tempat dengan memecah tim menjadi beberapa kelompok. Tempat yang kami kunjungi antara lain peternakan kelinci, peternakan kambing etawa dan home industry sepatu. Ada beberapa unit usaha lain yang dijalankan di wilayah Sukadamai, antara lain pembuatan keranjang dari bambu dan juga unit usaha Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang dilaksanakan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT).
            Minggu-minggu berikutnya kami masih berfokus pada penggalian potensi sumberdaya alam dan juga berbagai macam unit usaha masyarakat. Kami berhubungan dengan banyak orang; Ibu Encih selaku Ketua KWT; Bapak Sake sebagai Ketua Gapoktan; Bapak Didin, Bapak Anda, dan Bapak Uci selaku pengurus desa; Bapak Ipul selaku Ketua RT.05/ RW.05; Bapak Agus, dan beberapa warga desa yang lain.
            Sasaran kegiatan bina desa yang dilaksanakan memang tidak bisa mencakup satu desa keseluruhan. Setelah melakukan pemetaan potensi desa, kami memutuskan untuk memfokuskan kegiatan ini dalam wilayah satu RT. Kami memilih wilayah RT.05/RW.05 yang terletak cukup jauh dengan kantor desa. Boleh saya katakan wilayah ini cukup berbeda dengan wilayah lain yang berada di Desa Sukadamai. Ada 75 kepala keluarga yang tersebar di wilayah RT tersebut, namun letak rumah antar kepala keluarga cukup berjauhan. Untuk mengelilingi wilayah satu RT membutuhkan waktu lebih dari satu jam, jalannya berbukit, melewati sawah-sawah, dan hutan. Dari lingkungan satu RT ini perjalanan kegiatan bina desa FEM dimulai, hingga nanti bisa menyebar mencakup satu desa keseluruhan.
            Di minggu-minggu terakhir kegiatan bina desa, kami mendirikan rumah baca yang kami namai ‘Rumah Baca Jingga’. Warna kebanggaan kami, indentitas yang senantiasa kami jaga kehormatannya. Semoga tempat itu menjadi tempat yang nyaman untuk menambah pengetahuan dan wawasan atau sekedar mempererat tali silaturahmi. Cek kesehatan digelar, bukan untuk mendapatkan perhatian. Kami ingin memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga kesehatan. Bina Desa ditutup dengan pemberian bantuan sosial berupa paket sembako. Ah, tidak perlu berterima kasih kepada kami, tapi mari kita mengucap syukur kepada Yang Maha Memberi. Kami hanya memfasilitasi, diluar dugaan besar sekali antusiasme teman-teman semua untuk ikut berbagi terhadap saudara-saudara kita.
            Saya menyadari perjalanan Bina Desa FEM di periode pertama ini masih belum menghasilkan apa-apa. Ada banyak evaluasi dan kekurangan yang harus diperbaiki. Fokus kegiatan di periode berikutnya mungkin dapat diarahkan pada program pendampingan usaha masyarakat yang dilaksanakan secara kontinyu, pemberdayaan masyarakat khususnya kelompok pemuda di wilayah Desa Sukadamai, pendekatan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan rutin di desa tersebut, dan fungsi pelayanan di bidang kesehatan dan lingkungan melalui berbagai variasi kegiatan. Ini mungkin yang menjadi rekomendasi program untuk pelaksanaan Bina Desa FEM di tahun kedua.

Ucapan terima kasih dan Harapan
            Secara pribadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan Bina Desa FEM 2012. Tidak ada penghargaan spesial yang dapat saya berikan. Terima kasih untuk Panitia Bina Desa FEM 2012 yang telah memprioritaskan kegiatan ini, Dekanat Fakultas Ekonomi dan Manajemen, BEM FEM IPB Kabinet Progresif, Hipotesa, Com@, Hipma, Reesa, Ses-c, Formasi, Karemata, seluruh mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen, pihak sponsor, semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
            Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada teman, sahabat, saudara, keluarga baru saya di Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FEM IPB. Untuk Willy Setya Perdana, Rifal Laksmana, Aulia Isnaini Putri, Lestariningsih, Rita Fajarwati, Fauziah Adzimatinur, Nur Cahaya, Laras Lestari, dan Eka Nurnafih. Untuk 'Para Pembelajar' Ramadina Dasri, Esti Khoerunnisa, Ririn Indah Safitri, dan Monicha Septya H.  Hanya ucapan ini yang dapat saya berikan yang tidak berarti apa-apa dengan pengorbanan yang telah diberikan. Semoga harapan-harapan itu akan menjadi kenyataan, harapan untuk bisa bermanfaat bagi orang lain, harapan untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik.
         Perahu itu kini telah berlayar, maka janganlah kembali ke dermaga untuk memulai perjalanan. Lanjutkan perjalanan itu, gunakan bekal yang telah ada saat ini. Siapa pun yang melanjutkan perjalanan itu, maka teruskankanlah. Buat harapan yang lebih besar, buat jejak yang lebih indah, buat perjalanan itu menjadi lebih bermakna. Semoga cita-cita mulia tentang kegiatan Bina Desa FEM bisa terwujud. Semoga Tuhan senantiasa meridhai apa-apa yang telah dan akan kita kerjakan. Amin.

Jumat, 31 Agustus 2012

Sebuah tanya

Poros kata
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku


Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih,
Lembah Mandalawangi..
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin


Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat

Apakah kau masih akan berkata
'Kudengar detak jantungmu'


Kita begitu berbeda dalam semua,
Kecuali dalam cinta


Beberapa bait puisi, dalam Sebuah Tanya - Soe Hok Gie.

Catatan : Minggu ini saya harus menunda kembali pendakian ke Gunung Gede karena jalur pendakian kembali ditutup, diperpanjang hingga akhir September. 

Senin, 30 Juli 2012

Mendidik Dengan Hati

Poros kata
             "Kak, ayo cerita lagi!" Kata-kata itu masih terdengar jelas di telinga saya, Arif (siswa kelas 6) beserta teman-temannya yang lain telah siap-siap memasang kupingnya mendengar cerita sederhana yang saya sampaikan. 

Sudah hampir 4 bulan ini saya dan teman-teman saya menjalankan sebuah program pengajaran kepada adik-adik kami di SD Cilubang 4. Program ini disebut sebagai FEM Mengajar. Program yang merupakan program kerja Departemen Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) IPB bertujuan untuk memfasilitasi para siswa di sekolah tersebut untuk lebih memahami mata pelajaran yang belum mereka kuasai, meningkatkan keterampilan dan kreatifitas para siswa, serta untuk memberikan motivasi kepada para siswa untuk terus semangat dalam mencari ilmu.

Kegiatan ini dimulai pada tanggal 24 Maret lalu, disini saya dituntut untuk menjadi seorang ‘guru’ bagi siswa-siswi di SD tersebut. Tantangannya adalah bagaimana cara saya mengajar dengan baik agar mereka dapat menguasai materi yang ada di setiap mata pelajaran dengan sebaik mungkin. Awalnya saya berpikir sangat sederhana, cukup dengan membuka-buka kembali buku-buku pelajaran tingkat sekolah dasar maka saya rasa saya akan mampu mengajar dengan baik. Ternyata seiring berjalannya waktu, ada peranan lain yang dibutuhkan oleh adik-adik tersebut yang lebih dari sekedar kegiatan mengajar. Hal inilah yang kemudian saya sebut sebagai peran ‘mendidik’.


Kondisi siswa-siswi di SD Cilubang 4 saya katakan jauh berbeda jika dibandingkan dengan siswa-siswi SD di perkotaan pada umumnya. Disini para siswa dihadapkan pada berbagai macam keterbatasan; keterbatasan sarana dan prasarana kegiatan belajar, keterbatasan tenaga pengajar, keterbatasan dalam mengakses informasi, serta keterbatasan biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini membuat mereka kurang memiliki motivasi yang kuat untuk memiliki impian yang besar dan kemudian mewujudkan impian tersebut. Kondisi warga di sekitar lingkungan SD tersebut masih berpikir tradisional. Rata-rata kepedulian para orangtua terhadap pendidikan anaknya masih sangatlah kurang. Bayangkan saja, masih banyak sekali anak-anak di sekolah tersebut yang tidak memiliki akta kelahiran, padahal kita ketahui bersama akta kelahiran dibutuhkan dalam proses pembuatan ijazah saat mereka lulus nanti. Lebih dari itu, akta kelahiran merupakan dokumen tertulis yang sah yang menunjukkan status kewarganegaraan seseorang.

Siswa-siswi SD Cilubang 4
               
Dampak yang muncul akibat hal ini adalah tidak adanya keinginan yang besar dari siswa-siswi di SD Cilubang 4 untuk memiliki impian yang besar. Pernah suatu ketika di sela-sela kegiatan belajar mengajar, para siswa di SD Cilubang 4 ditanya mengenai cita-cita mereka. Beberapa anak menjawab ingin menjadi seorang dokter, pilot, presiden, dan guru. Itu merupakan jawaban yang umumnya akan selalu muncul jika ditanyakan kepada seorang anak. Kejadian yang cukup menggelitik –sekaligus menjadi ironi-  hati saya adalah ada beberapa anak yang memiliki cita-cita yang ‘berbeda’, ada yang ingin menjadi supir angkot, petani, dan lebih parah menjadi seorang pemulung. Saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan beberapa profesi tersebut, namun bukankah sejak kecil kita –pada umumnya- telah ter-mindset untuk memiliki cita-cita yang hebat? Ternyata ‘hukum’ ini tidak sepenuhnya berlaku di tempat saya mengajar.

Belajar dari kegiatan Mengajar
                
Mari kita berpikir lebih jauh lagi, contoh-contoh yang saya ceritakan diatas hanyalah sebagian kecil potret miring tentang dunia pendidikan di Indonesia. Ingat, wilayah Desa Sukadamai termasuk kedalam Wilayah Bogor, Jawa Barat, yang menurut saya termasuk ke dalam wilayah yang modern dan tidak kalah dengan wilayah ibukota. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ada di pedalaman? Saudara-saudara kita yang hidupnya masih bersuku-suku dan sangat jauh dari pusat perkotaan? Permasalahan pendidikan yang muncul pasti akan semakin kompleks.

Hal-hal seperti ini sudah sepatutnya menjadi pemikiran kita semua, khususnya bagi pihak pemerintah dan kalangan akademisi. Pemerataan pendidikan perlu diterapkan hingga ke seluruh pelosok negeri ini, tanpa terkecuali! Program Wajib Belajar 9 tahun yang selama ini dicanangkan perlu ditinjau kembali kenyataannya di lapangan. Penyediaan sekolah gratis perlu didukung dengan akses jalan yang memadai untuk mencapai sekolah tersebut, sebab masih banyak saudara-saudara kita yang harus menempuh puluhan kilometer untuk dapat bersekolah, bahkan kita ingat kasus terakhir di Garut, ada para siswa yang harus bergelantungan melewati jembatan untuk mencapai sekolahnya yang menjadi bahan perbincangan dunia internasional.

Bagi kalangan akademisi khususnya perguruan tinggi, peran pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tri dharma perguruan tinggi perlu direalisasikan dengan mengadakan program-program turun desa, pembinaan desa, pengabdian, bimas (bimbingan massal), dan peran pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas yang nantinya ikut serta dalam pembangunan bangsa. Tentunya dengan diikuti peningkatan kesejahteraan setiap individu.

Gedung sekolah ditopang oleh bambu
             
Kembali ke kegiatan saya di SD Cilubang 4. Kondisi yang menurut saya cukup memprihatinkan di tempat itu merubah pandangan saya tentang definisi kata mengajar. Ada peran lain yang dibutuhkan bagi siswa-siswi di tempat tersebut, bahkan memang peran ini dibutuhkan bagi semua anak-anak dalam proses belajar mengajar. Mereka perlu stimulan untuk membuat impian yang besar, cita-cita yang luar biasa, dan harapan untuk terus berupaya mewujudkan impiannya. Hal inilah yang saya sebut sebagai kata ‘mendidik’. Mendidik menurut saya mempunyai andil yang lebih besar dari sekedar mengajar. Mendidik berarti berupaya masuk ke dalam pola pikir anak-anak tersebut, memberikan pemahaman agar mereka senantiasa berbuat baik, memberikan semangat untuk terus belajar, memberikan motivasi untuk tetap tegak berjalan ditengah segala keterbatasan, dan memberikan keyakinan bahwa mereka mampu menjadi orang yang besar..

Mendidik merupakan pekerjaan yang mulia, yang hanya akan berhasil jika didasari dengan rasa keikhlasan. Disinilah saya mengerti mengapa seorang guru dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena pekerjaan mereka tidak hanya mengajar, namun mendidik anak-anak yang telah mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Mendidik dengan hati, itulah yang mereka kerjakan.

Ada banyak sekali kejadian-kejadian yang menginspirasi saya selama melaksanakan kegiatan di tempat ini, sampai saat ini pun saya beserta teman-teman saya masih tetap menjalankan program ini. Saya berharap program ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi saya pribadi yang telah belajar banyak tentang arti kesederhanaan dan keindahan makna kata saling berbagi.

Senin, 14 Mei 2012

Hidup dari Sampah

Poros kata
"Buanglah sampah pada tempatnya!" - NN

Setiap harinya tak kurang saya bisa menghasilkan 5 sampah, khususnya sampah plastik. Kesemua sampah tersebut, saya selalu berupaya membuangnya ke tempat sampah, dan setelah itu selesai. Saya tidak pernah berpikir apa kelanjutan nasib dari sampah yang telah saya buang itu.

Sabtu, 12 Mei 2012 saya mengunjungi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga dalam rangka fieldtrip mata kuliah Ekonomi Sumberdaya Lahan. Saya sempat berpikir kenapa dinamakan Tempat Pembuangan Akhir mungkin tujuannya untuk memperhalus bagi orang yang mengucapkannya, daripada terang-terangan menyebut tempat pembuangan sampah. Saya tiba di lokasi sekitar pukul 13.40, siang itu matahari sedang bersemangat, malah menurut saya terlalu bersemangat membuat saya basah kuyup.

Kami memiliki waktu sekitar satu jam untuk berkeliling melihat-lihat tempat tersebut. Ada bau yang menyengat, ada lautan sampah, ada ratusan orang, dan saya perkirakan ada ribuan lalat di tempat tersebut. Betapa kacaunya tempat itu, bau busuk sangat kental walaupun memakai masker. Hal yang tidak terpikir oleh saya adalah ternyata ada orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari sampah, barang yang boleh saya anggap tidak ada nilainya sama sekali. Saya yakin sebagian besar orang juga memiliki pendapat yang sama, atau bahkan kita memang beranggapan dan sama sekali tidak berpikir bahwa sampah itu berharga. Ternyata saya diberikan kesempatan untuk membuka mata saya lebar-lebar, mungkin bukan hanya penglihatan, tapi adalah kepedulian saya terhadap kondisi yang ada di TPA Galuga.

Galuga
Sumber : Google
Saya tidak akan berbicara tentang pengolahan sampah yang memang katanya dapat mendatangkan keuntungan dengan mengolah sampah yang ada untuk dijadikan barang komersil, tapi saya ingin menceritakan tentang hal yang simple, memungut sampah. Kalian tahu ada berapa orang yang setiap harinya tidak kenal panas atau hujan mereka harus bersaing dengan yang lain untuk mengumpulkan sampah sebanyak-banyaknya? Setidaknya di Galuga ada lebih dari 500 orang yang memunguti sampah. Apa saja yang mereka anggap berharga akan mereka ambil, plastik, potongan kaca (beling), baju bekas, sepatu bekas, bahkan saya mendengar seorang bapak yang mengatakan "Kalo masih ada potongan roti yang sekiranya masih bisa dimakan, ya saya makan dek..". Saya tidak akan berkomentar, cukup kita renungkan bersama..

Galuga
Sumber : Google

Kemudian saya pun berkesempatan berdialog dengan salah seorang yang pekerjaannya memunguti sampah - saya lupa namanya. Beliau seorang wanita, usianya saya perkirakan 50 tahun. Cukup lama saya berbicara dengan beliau, dari situ saya mendapat beberapa informasi. Sampah plastik yang mereka ambil ternyata hanya dihargai 300 rupiah/kg. Hanya 300 rupiah, Ibu tersebut malah menyebutnya dengan 300 perak. Saya langsung terbayang banyaknya sampah plastik yang harus diambil, sebab beliau mengambil sampah plastik, bukan batu kali yang beratnya bisa puluhan kg. Maksimal yang bisa ia dapatkan adalah 100 kg/hari, berarti sama dengan 30 ribu rupiah yang beliau kantongi. Tapi menurut saya untuk mengumpulkan sampah ratusan kilo maka harus dimulai dari pagi buta sampai larut malam. Sampah-sampah yang mereka ambil, mereka jual kepada 'bos', begitu mereka menyebutnya. Di tempat tersebut memang hanya ada satu bos, satu pusat penjualan sampah-sampah yang ada.

Fieldtrip berakhir sekitar pukul 15.15, tidak lama kami di tempat itu. Cukuplah kiranya kita, seenaknya dalam membuang sampah. Buat saya kegiatan fieldtrip kali ini punya arti yang mendalam, belum lagi melihat raut wajah ibu dan bapak yang setiap harinya harus berpanas-panasan di lautan sampah. Rata-rata mereka telah berusia lanjut, namun tidak ada pilihan lain agar mereka mampu bertahan hidup. Menghidupi dirinya dan keluarganya dari sampah, yang selama ini tak pernah kita pedulikan sama sekali.

Senin, 30 April 2012

Poros kata
Tadi ada temen gua yang nanya, "Di, lu ulangtaun gak jalan ama cewe lu?"
Terus gua jawab, "Cewek gua yang mana nih, cewek gua banyak!" agak songong.
Dia bales ngomong ,"Weiss, bagilah satu"
Gua, "(Ketawa dan nyari posisi di pojokan)"

Ada banyak hal yang sesungguhnya gak perlu ditanggapi secara serius, nikmatin aja,
Why so seriooouus?

Jumat, 13 April 2012

Belajar dari Cilubang 4

Poros kata
'Dengan belajar Anda akan bisa mengajar, dengan mengajar Anda akan semakin belajar' 

Saat ini saya dan teman-teman saya yang tergabung dalam kegiatan Bina Desa FEM -yang merupakan program kerja BEM FEM IPB tahun 2011/2012- sedang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat yang diberi nama FEM Mengajar. Kegiatan FEM Mengajar merupakan kegiatan pengajaran kepada siswa/i di SD Cilubang 4, Dramaga Bogor.

Apakah Anda pernah membayangkan seorang anak SD yang bercita-cita menjadi supir angkot? menjadi seorang ustadz? atau yang paling ekstrem menjadi seorang pemulung? Saya mendengar cita-cita tersebut dari SD ini. Saya juga heran dan kaget, di tengah kemajuan zaman yang begitu pesat ternyata kalau kita sadar di pelosok-pelosok sana masih terdapat sekelompok orang yang belum menikmati kemajuan zaman yang sering dibicarakan oleh 'orang kota'. Hal yang menjadi sebuah ironi sebenarnya letak SD ini bukan di pelosok, letaknya dekat dengan perkotaan, bahkan dekat dengan kampus IPB Dramaga yang sudah jelas di sana ada banyak mahasiswa yang sering disebut sebagai kaum intelek.

Kelas 3. Ada beberapa siswa yang kemampuan membacanya masih terbata-bata

Maka yang dapat disimpulkan adalah mungkin karena perhatian masyarakat khususnya orangtua belum menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya sehingga siswa/i tersebut tidak memiliki keinginan yang besar untuk sekolah sampai tinggi untuk menjadi seorang dokter, astronot, guru, atau presiden.

Kelas 5. Masih rutin menyanyikan lagu-lagu nasional seperti Indonesia raya dan Ibu Kita Kartini

Untuk itulah kami hadir disana, kami ingin mencoba mengajarkan mereka bermimpi, belajar untuk mempunyai impian yang besar karena pada dasarnya untuk mencapai suatu hal yang besar maka yang dibutuhkan hanyalah impian. Anak-anak harus punya impian, sebab apa lagi yang mereka punya kalau bukan sebuah impian. Ada banyak sekali kisah seorang yang sukses dengan modal impian, kita kenal kisah Arai di Sang Pemimpi yang berkata 'Buat orang seperti kita ini, apa lagi yang kita punya selain impian?'. Banyak lagi orang-orang yang sukses berkat impian-impian mereka.

Ulangan Bahasa Indonesia, Kelas 3.
Disini kami tidak hanya mengajar, kami juga banyak belajar. Pelajaran yang bisa diambil dari kegiatan ini, salah satunya adalah kami belajar tentang arti kata 'berbagi'. Adanya kegiatan FEM Mengajar ini membuat saya sadar betapa besar keuntungan yang didapat kalau kita bisa saling berbagi. Yang kami bagi dalam kegiatan ini tentu bukan sebuah materi, kami disini hanya berbagi kesenangan, keceriaan dan berbagi sedikit ilmu, sehingga apa-apa ilmu yang telah kami dapat sampai di bangku perkuliahan bisa bermanfaat, tidak hanya tertimbun di otak.


Pengajaran kelas 3


Tim Bina Desa FEM 2012
Semoga semoga dan sekali lagi semoga kegiatan ini bisa bermanfaat.
Info lebih lanjut silahkan cek http://bindesfem2012.blogspot.com/
Follow : @bindesfem

Senin, 09 April 2012

Hidup Perasaan!

Poros kata
Perasaan,
Apa itu perasaan? buat saya itu termasuk sesuatu yang abstrak, tak berwujud, tapi vital. Kadang kita bisa dengan mudahnya mengatur perilaku dan pola pikir kita, tapi lain halnya dengan perasaan. Buat saya dia termasuk sosok yang pendiriannya kuat dan punya prinsip. Saat kita dihadapkan pada sebuah pilihan, maka perasaanlah yang lebih dulu memiliki keputusan mengambil pilihan yang mana, sedangkan realisasinya nanti kita akan mengambil pilihan yang sesuai dengan perasaan atau bahkan bertentangan dengan yang kita rasakan. Terkadang pedih memang.

Kenapa saya menulis tentang perasaan? mungkin sekarang perasaan saya yang meminta saya menulis tentang perasaan. Entah kenapa, mungkin saya merasa ada banyak sekali fenomena 'perasaan' yang ada di sekitar saya. Mulai dari perasaan suka yang sulit menemukan keberlanjutan perasaan dari lawan jenisnya, perasaan benci yang ditahan agar tidak menyinggung perasaan orang lain, sampai yang paling tragis adalah korban perasaan. Lalu saya termasuk yang mana? kalau ada pilihan tidak perlu menjawab maka saya akan mengambil pilihan tersebut walaupun perasaan saya ingin sekali menjawabnya!

Nah itu, terkadang ingin sekali rasanya perasaan itu diungkapkan, tapi tak semua perasaan perlu diikrarkan, ada perasaan-perasaan yang lebih baik disimpan, untuk diungkapkan pada waktu yang tepat :)

*Perasaan gua tadinya mu nulis tentang hal yang lebih serius, tapi kenapa jadi tentang perasaan?? Ah mungkin cuma perasaan gua aja


Kamis, 29 Maret 2012

Unjuk gigi

Poros kata
We cannot always build the future for our youth, but we can build our youth for the future - Franklin D. Roosevelt

Apa itu unjuk rasa?
Unjuk rasa yang lebih dikenal sebagai aksi demonstrasi merupakan sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok (Wikipedia).

Sah-sah saja menurut saya jika suatu kelompok melakukan unjuk rasa atas ketidakpuasan yang mereka rasakan akibat kebijakan atau suatu keputusan yang dianggap merugikan. Yang menjadi poin penting dalam hal ini adalah 'Seberapa efektif unjuk rasa yang mereka lakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada?'. Unjuk rasa yang terjadi di Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh kalangan mahasiswa menimbulkan keunikan tersendiri. Mereka (kalangan mahasiswa) merupakan sosok kaum terpelajar yang sering disebut sebagai agen perubahan (agent of change) yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, kerapkali 'keasyikan' dalam menyampaikan aspirasinya sehingga tak sedikit unjuk rasa tersebut harus mengorbankan ketertiban umum bahkan nyawa. Tentu kita sepakat hal inilah yang harus dihindari!

Memang ada banyak tokoh pemuda yang memang dikenal sebagai seorang demonstran, salah satunya adalah Soe Hok Gie. Seorang pemuda yang pada zamannya merupakan salah satu penggiat dan pelopor (boleh saya katakan) munculnya aksi-aksi besar mahasiswa dalam mengkritisi pemerintahan yang ada.
Salah satu pandangannya tentang demonstrasi: "Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran."

Itu sepenggal cerita dari Soe Hok Gie pada masa pemerintahan Soekarno. Lalu bagaimana di zaman sekarang? Tentu jelas peran seorang mahasiswa menjadi lebih luas, peran pemuda di zaman ini tidak lagi berperan dalam skala Indonesia saja. Pemuda Indonesia saat ini harus berpikir dan bertindak global! Zaman telah berubah! Kalau hanya berpikir dan bertindak biasa-biasa saja yang ada bangsa ini akan semakin tertinggal, jauh tertinggal. Indonesia dapat dipandang oleh dunia melalui pemudanya. Indonesia dapat menjadi negara besar melalui pemudanya. Indonesia dapat menjadi negara sejahtera melalui peran nyata pemudanya!

Jadi jangan hanya unjuk rasa, sudah waktunya pemuda-pemuda Indonesia melakukan unjuk gigi dengan peran dan kontribusi nyata walaupun hanya melakukan hal-hal kecil.

Salam unjuk gigi!



Minggu, 11 Maret 2012

Poros kata
Untuk seluruh kawan saya di kepengurusan BEM FEM IPB Kabinet Progresif.

Akhir-akhir ini ada sedikit kekhawatiran yang melanda hati saya..

Perencanaan yang matang menurut saya adalah kunci dalam melaksanakan suatu kegiatan. Jika rencana kegiatan kita sudah jelas mulai dari bebet bibit bobotnya, pada pelaksanaannya nanti kegiatan tersebut tidak akan jauh berbeda dari apa yang direncanakan. Bina Desa FEM, khususnya kegiatan FEM Mengajar hanya tinggal beberapa hari lagi, berbagai konsep telah dirancang sedemikian rupa agar bisa berjalan dengan baik. Ini merupakan langkah pertama saya dalam suatu organisasi di lingkungan kampus.

Tidak banyak yang saya harapkan, hanya sedikit keinginan dalam hati saya: semoga kegiatan ini benar-benar bisa memberikan manfaat, untuk semua orang yang terlibat dan khususnya untuk saya pribadi. Amin

Semangat teman-teman! Kita baru bergerak beberapa langkah saja.

Tak usah kita pikirkan ujung perjalanan ini
Dan tak usah kita pikirkan ujung perjalanan ini

Sahabat Sejati-Sheila on 7
Diberdayakan oleh Blogger.