Senin, 30 Juli 2012

Mendidik Dengan Hati

Poros kata
             "Kak, ayo cerita lagi!" Kata-kata itu masih terdengar jelas di telinga saya, Arif (siswa kelas 6) beserta teman-temannya yang lain telah siap-siap memasang kupingnya mendengar cerita sederhana yang saya sampaikan. 

Sudah hampir 4 bulan ini saya dan teman-teman saya menjalankan sebuah program pengajaran kepada adik-adik kami di SD Cilubang 4. Program ini disebut sebagai FEM Mengajar. Program yang merupakan program kerja Departemen Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) IPB bertujuan untuk memfasilitasi para siswa di sekolah tersebut untuk lebih memahami mata pelajaran yang belum mereka kuasai, meningkatkan keterampilan dan kreatifitas para siswa, serta untuk memberikan motivasi kepada para siswa untuk terus semangat dalam mencari ilmu.

Kegiatan ini dimulai pada tanggal 24 Maret lalu, disini saya dituntut untuk menjadi seorang ‘guru’ bagi siswa-siswi di SD tersebut. Tantangannya adalah bagaimana cara saya mengajar dengan baik agar mereka dapat menguasai materi yang ada di setiap mata pelajaran dengan sebaik mungkin. Awalnya saya berpikir sangat sederhana, cukup dengan membuka-buka kembali buku-buku pelajaran tingkat sekolah dasar maka saya rasa saya akan mampu mengajar dengan baik. Ternyata seiring berjalannya waktu, ada peranan lain yang dibutuhkan oleh adik-adik tersebut yang lebih dari sekedar kegiatan mengajar. Hal inilah yang kemudian saya sebut sebagai peran ‘mendidik’.


Kondisi siswa-siswi di SD Cilubang 4 saya katakan jauh berbeda jika dibandingkan dengan siswa-siswi SD di perkotaan pada umumnya. Disini para siswa dihadapkan pada berbagai macam keterbatasan; keterbatasan sarana dan prasarana kegiatan belajar, keterbatasan tenaga pengajar, keterbatasan dalam mengakses informasi, serta keterbatasan biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini membuat mereka kurang memiliki motivasi yang kuat untuk memiliki impian yang besar dan kemudian mewujudkan impian tersebut. Kondisi warga di sekitar lingkungan SD tersebut masih berpikir tradisional. Rata-rata kepedulian para orangtua terhadap pendidikan anaknya masih sangatlah kurang. Bayangkan saja, masih banyak sekali anak-anak di sekolah tersebut yang tidak memiliki akta kelahiran, padahal kita ketahui bersama akta kelahiran dibutuhkan dalam proses pembuatan ijazah saat mereka lulus nanti. Lebih dari itu, akta kelahiran merupakan dokumen tertulis yang sah yang menunjukkan status kewarganegaraan seseorang.

Siswa-siswi SD Cilubang 4
               
Dampak yang muncul akibat hal ini adalah tidak adanya keinginan yang besar dari siswa-siswi di SD Cilubang 4 untuk memiliki impian yang besar. Pernah suatu ketika di sela-sela kegiatan belajar mengajar, para siswa di SD Cilubang 4 ditanya mengenai cita-cita mereka. Beberapa anak menjawab ingin menjadi seorang dokter, pilot, presiden, dan guru. Itu merupakan jawaban yang umumnya akan selalu muncul jika ditanyakan kepada seorang anak. Kejadian yang cukup menggelitik –sekaligus menjadi ironi-  hati saya adalah ada beberapa anak yang memiliki cita-cita yang ‘berbeda’, ada yang ingin menjadi supir angkot, petani, dan lebih parah menjadi seorang pemulung. Saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan beberapa profesi tersebut, namun bukankah sejak kecil kita –pada umumnya- telah ter-mindset untuk memiliki cita-cita yang hebat? Ternyata ‘hukum’ ini tidak sepenuhnya berlaku di tempat saya mengajar.

Belajar dari kegiatan Mengajar
                
Mari kita berpikir lebih jauh lagi, contoh-contoh yang saya ceritakan diatas hanyalah sebagian kecil potret miring tentang dunia pendidikan di Indonesia. Ingat, wilayah Desa Sukadamai termasuk kedalam Wilayah Bogor, Jawa Barat, yang menurut saya termasuk ke dalam wilayah yang modern dan tidak kalah dengan wilayah ibukota. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ada di pedalaman? Saudara-saudara kita yang hidupnya masih bersuku-suku dan sangat jauh dari pusat perkotaan? Permasalahan pendidikan yang muncul pasti akan semakin kompleks.

Hal-hal seperti ini sudah sepatutnya menjadi pemikiran kita semua, khususnya bagi pihak pemerintah dan kalangan akademisi. Pemerataan pendidikan perlu diterapkan hingga ke seluruh pelosok negeri ini, tanpa terkecuali! Program Wajib Belajar 9 tahun yang selama ini dicanangkan perlu ditinjau kembali kenyataannya di lapangan. Penyediaan sekolah gratis perlu didukung dengan akses jalan yang memadai untuk mencapai sekolah tersebut, sebab masih banyak saudara-saudara kita yang harus menempuh puluhan kilometer untuk dapat bersekolah, bahkan kita ingat kasus terakhir di Garut, ada para siswa yang harus bergelantungan melewati jembatan untuk mencapai sekolahnya yang menjadi bahan perbincangan dunia internasional.

Bagi kalangan akademisi khususnya perguruan tinggi, peran pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tri dharma perguruan tinggi perlu direalisasikan dengan mengadakan program-program turun desa, pembinaan desa, pengabdian, bimas (bimbingan massal), dan peran pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas yang nantinya ikut serta dalam pembangunan bangsa. Tentunya dengan diikuti peningkatan kesejahteraan setiap individu.

Gedung sekolah ditopang oleh bambu
             
Kembali ke kegiatan saya di SD Cilubang 4. Kondisi yang menurut saya cukup memprihatinkan di tempat itu merubah pandangan saya tentang definisi kata mengajar. Ada peran lain yang dibutuhkan bagi siswa-siswi di tempat tersebut, bahkan memang peran ini dibutuhkan bagi semua anak-anak dalam proses belajar mengajar. Mereka perlu stimulan untuk membuat impian yang besar, cita-cita yang luar biasa, dan harapan untuk terus berupaya mewujudkan impiannya. Hal inilah yang saya sebut sebagai kata ‘mendidik’. Mendidik menurut saya mempunyai andil yang lebih besar dari sekedar mengajar. Mendidik berarti berupaya masuk ke dalam pola pikir anak-anak tersebut, memberikan pemahaman agar mereka senantiasa berbuat baik, memberikan semangat untuk terus belajar, memberikan motivasi untuk tetap tegak berjalan ditengah segala keterbatasan, dan memberikan keyakinan bahwa mereka mampu menjadi orang yang besar..

Mendidik merupakan pekerjaan yang mulia, yang hanya akan berhasil jika didasari dengan rasa keikhlasan. Disinilah saya mengerti mengapa seorang guru dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena pekerjaan mereka tidak hanya mengajar, namun mendidik anak-anak yang telah mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Mendidik dengan hati, itulah yang mereka kerjakan.

Ada banyak sekali kejadian-kejadian yang menginspirasi saya selama melaksanakan kegiatan di tempat ini, sampai saat ini pun saya beserta teman-teman saya masih tetap menjalankan program ini. Saya berharap program ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi saya pribadi yang telah belajar banyak tentang arti kesederhanaan dan keindahan makna kata saling berbagi.

About the Author

Poros kata / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

2 komentar:

  1. Akhirnya di, gue ngeliat postingan elu lagi haha

    BalasHapus
  2. wah calon ketua bem fem sekarang dari dept pengmas yaa..
    ngeliat dan baca postingan ini jadi ingat pengmas 2 tahun yg lalu dek, cuma waktu itu namanya sekolah balistis (baca tulis gratis)..
    hehee

    semoga sukses buat dept pengabdian masyarakat :D

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.