"Kak, ayo cerita lagi!" Kata-kata itu masih terdengar jelas di telinga saya, Arif (siswa kelas 6) beserta teman-temannya yang lain telah siap-siap memasang kupingnya mendengar cerita sederhana yang saya sampaikan.
Sudah hampir 4 bulan ini saya dan teman-teman saya menjalankan sebuah program pengajaran kepada adik-adik kami di SD Cilubang 4. Program ini disebut sebagai FEM Mengajar. Program yang merupakan program kerja Departemen Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) IPB bertujuan untuk memfasilitasi para siswa di sekolah tersebut untuk lebih memahami mata pelajaran yang belum mereka kuasai, meningkatkan keterampilan dan kreatifitas para siswa, serta untuk memberikan motivasi kepada para siswa untuk terus semangat dalam mencari ilmu.
Sudah hampir 4 bulan ini saya dan teman-teman saya menjalankan sebuah program pengajaran kepada adik-adik kami di SD Cilubang 4. Program ini disebut sebagai FEM Mengajar. Program yang merupakan program kerja Departemen Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) IPB bertujuan untuk memfasilitasi para siswa di sekolah tersebut untuk lebih memahami mata pelajaran yang belum mereka kuasai, meningkatkan keterampilan dan kreatifitas para siswa, serta untuk memberikan motivasi kepada para siswa untuk terus semangat dalam mencari ilmu.
Kegiatan ini dimulai
pada tanggal 24 Maret lalu, disini saya dituntut untuk menjadi seorang ‘guru’
bagi siswa-siswi di SD tersebut. Tantangannya adalah bagaimana cara saya
mengajar dengan baik agar mereka dapat menguasai materi yang ada di setiap mata
pelajaran dengan sebaik mungkin. Awalnya saya berpikir sangat sederhana, cukup
dengan membuka-buka kembali buku-buku pelajaran tingkat sekolah dasar maka saya
rasa saya akan mampu mengajar dengan baik. Ternyata seiring berjalannya waktu, ada
peranan lain yang dibutuhkan oleh adik-adik tersebut yang lebih dari sekedar
kegiatan mengajar. Hal inilah yang kemudian saya sebut sebagai peran
‘mendidik’.
Kondisi siswa-siswi di
SD Cilubang 4 saya katakan jauh berbeda jika dibandingkan dengan siswa-siswi SD
di perkotaan pada umumnya. Disini para siswa dihadapkan pada berbagai macam
keterbatasan; keterbatasan sarana dan prasarana kegiatan belajar, keterbatasan
tenaga pengajar, keterbatasan dalam mengakses informasi, serta keterbatasan
biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini membuat
mereka kurang memiliki motivasi yang kuat untuk memiliki impian yang besar dan
kemudian mewujudkan impian tersebut. Kondisi warga di sekitar lingkungan SD
tersebut masih berpikir tradisional. Rata-rata kepedulian para orangtua
terhadap pendidikan anaknya masih sangatlah kurang. Bayangkan saja, masih
banyak sekali anak-anak di sekolah tersebut yang tidak memiliki akta kelahiran,
padahal kita ketahui bersama akta kelahiran dibutuhkan dalam proses pembuatan
ijazah saat mereka lulus nanti. Lebih dari itu, akta kelahiran merupakan dokumen
tertulis yang sah yang menunjukkan status kewarganegaraan seseorang.
Dampak yang muncul
akibat hal ini adalah tidak adanya keinginan yang besar dari siswa-siswi di SD
Cilubang 4 untuk memiliki impian yang besar. Pernah suatu ketika di sela-sela kegiatan
belajar mengajar, para siswa di SD Cilubang 4 ditanya mengenai cita-cita
mereka. Beberapa anak menjawab ingin menjadi seorang dokter, pilot, presiden,
dan guru. Itu merupakan jawaban yang umumnya akan selalu muncul jika ditanyakan
kepada seorang anak. Kejadian yang cukup menggelitik –sekaligus menjadi ironi- hati saya adalah ada beberapa anak yang
memiliki cita-cita yang ‘berbeda’, ada yang ingin menjadi supir angkot, petani,
dan lebih parah menjadi seorang pemulung. Saya sama sekali tidak bermaksud
merendahkan beberapa profesi tersebut, namun bukankah sejak kecil kita –pada
umumnya- telah ter-mindset untuk
memiliki cita-cita yang hebat? Ternyata ‘hukum’ ini tidak sepenuhnya berlaku di
tempat saya mengajar.
Belajar dari kegiatan Mengajar |
Mari kita berpikir
lebih jauh lagi, contoh-contoh yang saya ceritakan diatas hanyalah sebagian
kecil potret miring tentang dunia pendidikan di Indonesia. Ingat, wilayah Desa
Sukadamai termasuk kedalam Wilayah Bogor, Jawa Barat, yang menurut saya
termasuk ke dalam wilayah yang modern dan tidak kalah dengan wilayah ibukota.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ada di pedalaman?
Saudara-saudara kita yang hidupnya masih bersuku-suku dan sangat jauh dari
pusat perkotaan? Permasalahan pendidikan yang muncul pasti akan semakin
kompleks.
Hal-hal seperti ini
sudah sepatutnya menjadi pemikiran kita semua, khususnya bagi pihak pemerintah
dan kalangan akademisi. Pemerataan pendidikan perlu diterapkan hingga ke
seluruh pelosok negeri ini, tanpa terkecuali! Program Wajib Belajar 9 tahun
yang selama ini dicanangkan perlu ditinjau kembali kenyataannya di lapangan.
Penyediaan sekolah gratis perlu didukung dengan akses jalan yang memadai untuk
mencapai sekolah tersebut, sebab masih banyak saudara-saudara kita yang harus
menempuh puluhan kilometer untuk dapat bersekolah, bahkan kita ingat kasus
terakhir di Garut, ada para siswa yang harus bergelantungan melewati jembatan
untuk mencapai sekolahnya yang menjadi bahan perbincangan dunia internasional.
Bagi kalangan akademisi khususnya perguruan tinggi, peran pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tri dharma perguruan tinggi perlu direalisasikan dengan mengadakan program-program turun desa, pembinaan desa, pengabdian, bimas (bimbingan massal), dan peran pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas yang nantinya ikut serta dalam pembangunan bangsa. Tentunya dengan diikuti peningkatan kesejahteraan setiap individu.
Bagi kalangan akademisi khususnya perguruan tinggi, peran pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tri dharma perguruan tinggi perlu direalisasikan dengan mengadakan program-program turun desa, pembinaan desa, pengabdian, bimas (bimbingan massal), dan peran pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas yang nantinya ikut serta dalam pembangunan bangsa. Tentunya dengan diikuti peningkatan kesejahteraan setiap individu.
Gedung sekolah ditopang oleh bambu |
Kembali ke kegiatan
saya di SD Cilubang 4. Kondisi yang menurut saya cukup memprihatinkan di tempat
itu merubah pandangan saya tentang definisi kata mengajar. Ada peran lain yang
dibutuhkan bagi siswa-siswi di tempat tersebut, bahkan memang peran ini
dibutuhkan bagi semua anak-anak dalam proses belajar mengajar. Mereka perlu
stimulan untuk membuat impian yang besar, cita-cita yang luar biasa, dan
harapan untuk terus berupaya mewujudkan impiannya. Hal inilah yang saya sebut
sebagai kata ‘mendidik’. Mendidik menurut saya mempunyai andil yang lebih besar
dari sekedar mengajar. Mendidik berarti berupaya masuk ke dalam pola pikir
anak-anak tersebut, memberikan pemahaman agar mereka senantiasa berbuat baik,
memberikan semangat untuk terus belajar, memberikan motivasi untuk tetap tegak
berjalan ditengah segala keterbatasan, dan memberikan keyakinan bahwa mereka
mampu menjadi orang yang besar..
Mendidik merupakan pekerjaan
yang mulia, yang hanya akan berhasil jika didasari dengan rasa keikhlasan.
Disinilah saya mengerti mengapa seorang guru dikatakan sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa, karena pekerjaan mereka tidak hanya mengajar, namun mendidik
anak-anak yang telah mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Mendidik
dengan hati, itulah yang mereka kerjakan.
Ada banyak sekali kejadian-kejadian yang menginspirasi saya selama melaksanakan kegiatan di tempat ini, sampai saat ini pun saya beserta teman-teman saya masih tetap menjalankan program ini. Saya berharap program ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi saya pribadi yang telah belajar banyak tentang arti kesederhanaan dan keindahan makna kata saling berbagi.
Akhirnya di, gue ngeliat postingan elu lagi haha
BalasHapuswah calon ketua bem fem sekarang dari dept pengmas yaa..
BalasHapusngeliat dan baca postingan ini jadi ingat pengmas 2 tahun yg lalu dek, cuma waktu itu namanya sekolah balistis (baca tulis gratis)..
hehee
semoga sukses buat dept pengabdian masyarakat :D